BANGKA POS
Pilpres 2009 Rawan
Kevakuman Hukum Bisa Jadi Revolusi
Kinerja KPU Mengecewakan
Perppu Mengakomodir Partai Penguasa
edisi: 28/Feb/2009 wib
JAKARTA, BANGKA POS--Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra mengingatkan pemerintah akan adanya kevakuman hukum yang berpotensi ke arah revolusi pasca Pemilu 2009.
“Saat ini tidak ada satupun aturan hukum mulai dari tingkat terendah dan tertinggi atau dalam konstitusi yang mengatur siapa yang jadi pemegang kekuasaan jika Pemilu Presiden tidak bisa dilaksanakan.
Ini akan sangat berbahaya karena yang kuat lah nanti yang akan mengambil alih kekuasaan. Ini bisa saja terjadi, namun saya berharap ini tidak terjadi,” ujar Yusril dalam diskusi dialektika demokrasi Parpol Bicara Perppu Pemilu, Jumat (27/2).
Yusril mencontohkan jika Susilo Bambang Yudhoyono berpasangan dengan siapapun merupakan calon terkuat untuk menang dalam Pemilu Presiden 2009 tidak mendapatkan lawan karena tidak satupun parpol atau gabungan parpol lainnya yang mau berkompetisi melawan SBY. Yang terjadi adalah pemilu presiden tidak bisa dilaksanakan.
“Maka yang terjadi adalah hanya ada satu pasangan calon dan oleh karenanya tidak ada pemilu. Sementara pemerintahan saat ini demisioner, maka siapa yang berhak memimpin bangsa?” ujarnya.
Menurutnya, dalam kondisi seperti itu maka tidak ada yang berhak memimpin. Disinilah terjadi kevakuman hukum yang tidak mengantisipasi kondisi yang mungkin saja terjadi. “Jika ini yang terjadi maka kekuatan lah yang akan bicara dan ini sangat berbahaya,” tegas Yusril.
Sedangkan Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Esa Unggul, Irmanputra Sidin berpendapat jika itu yang terjadi maka akan ada gerakan atau tindakan ektra konstitusional yang kuat. Ini akan mendorong terjadinya revolusi.
“Maka yang akan terjadi yang kuat lah yang akan menang dan meredam semuanya. Jika ini yang terjadi maka revolusi tidak bisa dihindarkan,” ujarnya.
Menurut Yusril, sedari awal pembatasan calon independen dan syarat pengajuan capres ini bisa jadi bumerang untuk stabilitas negara.
Kondisi seperti ini bisa dihindari jika ada calon independen, atau tidak ada batasan capres 20-25 persen suara atau kursi.
Kinerja KPU
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai cara kerja KPU sekarang lebih buruk dibanding kinerja KPU periode pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Ray mencontohkan, salah satu kinerja KPU yang terkesan tidak maksimal adalah, dengan dikeluarkannya dua Perpu (Perpu No 1/2009) oleh pemerintah, salah satunya tentang perbaikan daftar pemilih tetap (DPT).
“Soal DPT ini seakan sangat kacau sekali. Padahal, KPU sebelumnya masalah DPT tetap ada, namun cepat ditangani dan tidak perlu sampai pemerintah mengeluarkan Perpu.
Dari dulu, soal DPT memang selalu bermasalah, pada saat pelaksanaan Pilkada di beberapa daerah saja, masalah ini yang dipersoalkan,” sesal Ray Rangkuti dalam perbincangan, Jumat (27/2).
“Saya merasakan sekali, kinerja KPU sekarang ini kurang canggih, seakan kejelakkan KPU dibebankan kepada negara sehingga Perpu keluar. Sebetulnya, banyak sekali argumentasi KPU kinerjanya buruk.
Misalnya, soal pelaksanaan pemilu yang molor, sosialisasi Pemilu kepada rakyat yang buruk, kemudian surat suara terlambat di distribusikan serta banyak ditemukan kerusakan pada surat suara. Belum lagi, alokasi dana yang buruk serta distribusi di daerah yang berlebihan,” ujar Ray.
Ray kemudian menegaskan, sekalipun KPU menyatakan kerusakan surat suara segera dapat diganti, tapi sebaliknya jangan dianggap sebagai hal yang remeh temeh. Menurutnya, bila ini dianggap hal yang sepele, namun berpotensi mengganggu kelancaran tekhnis pelaksanaan Pemilu.
Sementara mantan mensesneg Yusril Ihza Mahendra menilai, penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif sarat agenda tersembunyi.
Yusril mensinyalir, Perpu ini ditujukan untuk mengakomodasi kepentingan partai penguasa yang caleg-calegnya kurang dikenal. Namun, Yusril enggan menjelaskan, siapa parpol penguasa yang dimaksud.
Meski begitu, Yusril berharap pemerintah juga harus mengeluarkan Perpu soal suara terbanyak. Dengan alasan, suara terbanyak menyangkut soal substansi, bukan hanya teknis pelaksanaan pemilu.
“Suara terbanyak itu juga perlu Perpu karena tidak hanya soal teknis penentuan siapa calon yang terpilih berdasarkan suara terbanyak. Akan tetapi, ini menyangkut soal substansi.
Saat ini, paksa keputusan MK yang membatalkan pasal 214 UU No 10 tahun 2008, membuat adanya kevakuman hukum sehingga perlu ada payung, berupa Perppu.
Kalau tidak ada, KPU tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur substansi. Putusan MK itu bukan undang-undang, pembuat undang-undang itu adalah pemerintah dan DPR,” Yusril menjelaskan. (Persda Network/js/pya)
Minggu, 01 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar